Penulis:
- Atun Wardatun
Editor :
- Dr. Moh. Asyiq Amrulloh, M.Ag.
Dimensi dan Jumlah Halaman:
- 15 x 23 cm (105 hlm)
- ISBN : 978-623-317-330-8
- Tahun Terbit : 2023
Pembayaran agama berbentuk mahar adalah untuk legitimasi keabsahan pernikahan secara agama, sedangkan pembayaran adat berfungsi sebagai legitimasi sosial, bahkan sebagai penentu apakah pernikahan bisa dilanjutkan. Pembayaran jenis ini mempengaruhi waktu dilaksanakan pernikahan karena sebelum pembayaran tersebut dilakukan, pihak keluarga perempuan tidak bersedia memberikan wali untuk menikahkan. Adapun pembayaran administrasi adalah untuk legitimasi negara.
Ketiga model pembayaran tersebut, walaupun meliputi aspek yang berbeda di sebuah pernikahan, dipandang paralel dan saling melengkapi serta tidak menegasikan satu sama lain. Dengan meminjam perspektif pluralisme hukum, diformulasikan bahwa pembayaran pernikahan dalam tradisi Sasak dilandasi oleh pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism). Tidak ada satu sistem hukum yang mendominasi dan tersubordinasi satu sama lain. Argumen ini sekaligus mendebat pandangan selama ini yang meletakkan ketiga sistem hukum (Islam, adat, dan negara) saling berlawanan dan mengotak-ngotakkan.
Selain argumen utama tersebut, buku ini juga menggambarkan bagaimana dinamika negosiasi yang dilakukan masyarakat Muslim Sasak terkait pembayaran perkawinan. Muslim Sasak dikenal sebagai kelompok masyarakat yang memegang teguh tradisi pernikahan yang secara turun temurun dipraktikkan. Untuk menyebut dua di antaranya adalah tradisi merariq (menikah dengan cara melarikan perempuan) dan tradisi pisuke (pembayaran adat pernikahan). Dalam banyak diskusi dan penilaian sepihak oleh kelompok masyarakat tertentu, kedua tradisi ini dianggap tidak memiliki dasar legitimasi yang kuat di dalam agama. Oleh karenanya, sering terjadi perbedaan pandangan di kalangan tokoh agama versus tokoh adat. Apalagi jika pernikahan Muslim Sasak dilakukan dengan muslim suku lain baik dari wilayah NTB misalnya Muslim Mbojo dan Samawa yang mendiami Pulau Sumbawa maupun dari luar NTB misalnya Muslim Jawa, Bugis, dan Banjar. Di dalam praktiknya, pembayaran perkawinan sangat terbuka untuk dinegosiasikan dengan tujuan menemukan kata sepakat dan terjadinya pernikahan yang menyenangkan kedua belah pihak.